Karawang
merupakan nama sebuah kabupaten di daerah Jawa Barat, dimana kabupaten ini
memiliki luas wilayah sebesar 1.737,53 Kilometer persegi dengan jumlah penduduk sekitar 2.125.234 jiwa.
Kabupaten
Karawang sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Bogor, di sebelah utara berbatasan
langsung dengan Laut Jawa, di sebelah timur berbatasan dengan
Kabupaten Subang,di sebelah
tenggara berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta, serta di
sebelah selatannya berbatasan dengan Kabupaten Cianjur. Sejak jaman dahulu,
bahkan sebelum masa pra-aksara Kabupaten Karawang ini menjadi saksi dan bagian
dari sejarah perkembangan bangsa Indonesia dari masa ke masa hingga
kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Banyak bangunan-bangunan cagar
budaya di daerah Kabupaten Karawang yang telah menjadi saksi bisu dari tonggak
perjuangan bangsa Indonesia untuk memperoleh kemerdekaannya dan bahkan jauh
sebelum itu, namun sanyangnya hingga saat ini situs–situs bersejarah tersebut
kondisinya memprihatinkan dan kurang terawat.
Pada
zaman sekarang Kabupaten Karawang cenderung lebih dikenal dengan sebutan Kota
Industri dibandingkan sebagi kota padi dimana yang pada zaman dahulunya
Karawang merupakan lumbung padi terbersar di daerah Jawa Barat, sekarang banyak
perusahaan dan pabrik–pabrik yang di bangun di sekitar daerah Karawang, dengan
daerah sentral KIIC (Karawang Internasional Industry City) yang berada
di sebelah timur Kabupaten Kawarang, dimana sebagian besar pendapatan Kabupaten
Karawang berasal dari sektor tersebut sehingga pihak pemerintahan Kabupaten
Karawang lebih berpihak dan berpusat pada sektor industri dibandingkan dengan
sektor pariwisata ataupun pelestarian situs-situs bersejarah. Banyak dari
situs-situs bersejarah tersebut yang kondisinya memprihatinkan karena kurangnya
perhatian pemerintah dan kesadaran masyarakat untuk tetap menjaga keberadaan
situs-situs yang ada, seperti situs Tugu Kebulatan Tekad di daerah
Rengasdengklok yang hanya berada di wilayah lapangan terbuka tanpa adanya
pagar-pagar pembatas untuk melindungi sehingga para remaja yang tidak mengerti
arti pentingnya mengapa tugu itu dibangun dapat mencoret-coret tugu tersebut
sesuka hati mereka dengan berbagai tulisanyang tidak seharusnya ditulis atau
dapat dikatakan tulisan yang tidak baik. Selain itu, banyak situs-situs
bersejarah di Kabupaten Karawang cenderung berada didaerah pelosok desa
sehingga akses jalan menuju kesana sulit, bukan hanya sekedar jalan tersebut
berlubang atau tidak rata namun ada pula jalan yang hanya muat untuk satu
kendaraan beroda empat seperti ke daerah situs Batujaya (Candi Jiwa dan Candi
Blandongan).
Sebagai sebuah bangsa yang kaya akan peninggalan sejarah dan budaya seharusnya dapat lebih menghargai akan pentingnya situs-situs bersejarah yang ada, karena dari situs-situs bersejarah itulah kita dapat mengetahui sejarah perjuangan dan perkembangan bangsa kita dari sejak jaman dahulu hingga sekarang, dan situs-situs bersejarah juga berguna sebagai cerminan identitas suatu daerah, sehingga jika kita tidak dapat merawatnya maka hilanglah identitas kita sebagai sebuah bangsa yang mendiami daerah tersebut. Dalam makalah ini saya berfikir bahwa pemerintah daerah Kabupaten Karawang seharusnya lebih memperhatikan kondisi serta sarana dan fasilitas dari situs-situs bersejarah yang ada, karena dalam kebanyakan kasus, situs-situs bersejarah tersebut lebih banyak diawasi dan dirawat oleh masyarakat setempat yang notabennya hanya memiliki pengetahuan standar tentang sejarah suatu situs bukan pihak pariwisata atau pihak-pihak kesejarahan yang lebih mengerti sejarah situs-situs itu ada dan di bangun. Selain itu pihak pemerintakan Kabuaten Karawang bersama warga sekitar seharusnya dapat berkerja sama dalam proses pelestarian situs-situs bersejarah yang ada, seperti misalnya mengadakan penyuluhan bertapa pentingnya situs tersebut untuk dijaga dari aspek sejarah situs tersebut dibangun. Lalu dapat juga melalui proses perbaikan jalan menuju ke tempat situs-situs bersejarah tersebut.
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sesuai dengan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, adalah sebagai berikut : (1) sejarah terbentuknya Kabupaten Karawang, (2) situs-situs bersejarah yang ada di Kabupaten Karawang, (3) apa saja upaya pemerintah setempat untuk melestarikan situs-situs bersejarah tersebut, (4) bagaimana kepedulian masyarakat akan situs-situs bersejarah di Kabupaten Karawang pada saat ini .
Adapun tujuan yang ingin dicapai berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan adalah sebagai berikut : (1) mendeskripsikan sejarah terbentuknya Kabupaten Karawang, (2) mendeskripsikan situs-situs bersejarah yang ada di Kabupaten Karawang, (3) agar memperoleh gambaran upaya pemerintah setempat untuk melestarikan situs-situs bersejarah tersebut, (4) gambaran kepedulian masyarakat akan situs-situs bersejarah di Kabupaten Karawang pada saat ini.
Sejarah Karawang
Karawang dalam Bahasa Sunda mempunyai arti "penuh dengan lubang” hal itu dikarenakan pada zaman dahulu daerah Karawang memiliki tanah berawa yang menyakibatkan banyak lubang-lubang air di daerah tersebut. Menurut Cornelis de Houtman, orang Belanda yang pertama kali menginjakkan kakinya di pulau Jawa, pada tahun 1596 menuliskan adanya suatu tempat yang bernama Karawang sebagai berikut: “Di tengah jalan antara Pamanukan dan Jayakarta, pada sebuah tanjung terletak Karawang” (Wikipedia, 2010).
Wilayah Karawang ini sudah sejak lama dihuni manusia, dimana dapat kita lihat di daerah ini terdapat peninggalan Situs Batujaya dan Situs Cibuaya yang menunjukkan pemukiman modern awal yang bahkan mendahului masa Kerajaan Tarumanagara. Pada awalnya daerah Karawang ini adalah daerah kekuasaan Kerajaan Sunda, namun setelah Kerajaan Sunda runtuh maka daerah Karawang ini dibagi menjadi dua. Menurut Carita Sajarah Banten, Sunan Gunung Jati membagi Karawang menjadi sebelah timur masuk wilayah Cirebon dan sebelah barat menjadi wilayah Kesultanan Banten (Wikipedia, 2010).
Masyarakat wilayah Karawang pada zaman dahulu awalnya memeluk agama Budha dilihat dari peninggalan candi yang ada di Situs Batujaya dan Situs Cibuaya, sedangkan agama Islam mulai dipeluk masyarakat setempat pada masa Kerajaan Sunda, setelah Syekh Hasanudin bin Yusuf Idofi, atau yang lebih dikenal dengan sebutan "Syekh Quro", menyebarkan agama di daerah Karawang. Karawang mulai mendirikan pusat pemerintahannya tersendiri saat diduduki oleh Kesultanan Mataram, di bawah pimpinan Wiraperbangsa dengan gelar Adipati Kertabumi III dari Sumedang Larang tahun 1632. Semenjak masa ini, sistem pertanian melalui pengairan irigasi mulai dikembangkan di Karawang dan perlahan-lahan daerah ini menjadi daerah pusat penghasil beras utama di Pulau Jawa hingga akhir abad ke-20. Selanjutnya, Karawang menjadi kabupaten dengan bupati pertama Raden Adipati Singaperbangsa bergelar Kertabumi IV yang dilantik 14 September 1633. Tanggal ini dinobatkan menjadi hari jadi Kabupaten Karawang.
Selain dikenal dengan sebutan Lumbung Padi Karawang juga sering disebut sebagai Kota Pangkal Perjuangan dimana Kecamatan Rengasdengklok adalah daerah pertama dari Republik Indonesia yang gagah berani mengibarkan bendera Merah Putih sebelum Proklamasi kemerdekaan Indonesia di gaungkan. Daerah Rengasdengklok juga dijadikan tempat disembunyikannya Soekarno dan Hatta oleh para pemuda Indonesia untuk secepatnya merumuskan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 16 Agustus 1945.
Situs-situs Bersejarah di Kota Karawang
1. Candi Jiwa dan Candi Blandongan di Situs Batujaya
Pada tahun 1984 Situs Batujaya ini pertama kali diteliti oleh tim arkeologi dari Universitas Indonesia berdasarkan adanya laporan dari masyarakat sekitar tentang penemuan benda-benda peninggalan purbakala disekitar gundukan-gundungan tanah yang berda ditengah-tengah sawah milik penduduk. Kemudian, penelitian yang sebenarnya baru dilakukan pada tahun 1992 hingga tahun 2006, dan berhasil menemukan 31 tapak situs sisa-sisa bangunan (Takaria, 2007).
Sampai pada tahun 2000 dari hasil penelitian yang dilakukan baru ada 11 buah candi yang berhasil diteliti oleh para arkeolog, meskipun masih memiliki banyak fakta yang belum terungkap seperti kronologi, sifat keagamaan, bentuk dan pola percandian, menurut dugaan candi-candi tersebut merupakan bangunan candi tertua didaerah Jawa, yang diperkirakan dibangun pada masa Kerajaan Tarumanegara pada Abad ke 15 Masehi. Berdasarkan pada hasil penemuan candi-candi tersebut, yang menarik disini adalah setiap bangunan candi yang ada di Situs Batujaya semuanya menghadap ke arah yang sama, yaitu 50 derajat dari arah utara (Takaria, 2007).
2. Situs Cibuaya
Dari seluruh bangunan candi yang ditemukan di Situs Cibuaya yang paling menarik adalah bangunan candi di Lemah Duhur Lanang. Bangunan yang dibuat dari bata ini berdenah hampir bujursangkar dengan ukuran 9 × 9,6 meter dan tinggi dua meter, menghadap ke arah barat laut dengan tangga berukuran lebar 2,2 meter. Bagian fondasinya dibuat dari pecahan bata yang bercampur dengan kerikil dan batu kali. Bagian puncak runtuhan bangunan Lemah Duhur Lanang terdapat sebuah lingga yang masih berdiri in-situ, lingga ini berukuran tinggi 111 cm dan bergaris tengah 40 cm. Bentuk lingganya sendiri bukan merupakan bentuk lingga yang sempurna (lingga semu) karena tidak memiliki bagian yang berdenah segi delapan (wisnubhaga). Bagian yang ada hanya yang berdenah persegi ("brahmabhaga") dan bundar ("rudrabhaga"). Dengan ditemukannya lingga dalam konteksnya dengan bangunan suci dan arca Wisnu yang ditemukan di dekatnya, dapat disimpulkan bahwa bangunan Lemah Duhur Lanang adalah bangunan suci untuk pemeluk agama Hindu (Karim, 2010).
3. Masjid Agung Karawang dan Makam Syekh Quro
Syekh Hasanudin atau lebih dikenal dengan sebutan Syekh Quro merupakan penyebaran agama Islam ke Nusantara dan berlabuh pertama kali di pelabuhan Cirebon dibawah pengawasan Ki Gedeng Tapa. Namun usahanya untuk terus melakukan dakwah di cegah oleh kepemimpinan Raja Padjajaran yang kala itu di pimpin oleh Prabu Angga Larang, dan untuk menghindari pertumpahan darah, Syekh Quro memutuskan untuk meninggalkan pulau Jawa dengan bertolak ke Malaka. Oleh Ki Gedeng Tapa, Syekh Quro dititipkan putrinya yang baru berusia 12 tahun untuk menimba Ilmu Agama Islam, putri Ki Gedeng Tapa ini bernama Nyi Subang Larang. Setelah ia berhasil mengislamkan daerah Malaka, Syekh Quro bersama muridnya, Nyi Subang Larang memutuskan kembali ke daerah Jawa melalui ujung Karawang, menyusuri Sungai Citarum dan menambatkan perahunya di Pelabuhan Karawang yaitu Bunut Kertayasa (Saat ini dikenal sebagai Kampung Bunut). Syekh Quro kemudian meminta izin kepada penguasa setempat untuk mendirikan bangunan sebagai tempat tinggal sekaligus tempat pendidikan (mengaji), tempat tersebut dikemudian hari dikenal sebagai Pesantren Quro (Saat Ini dikenal sebagai kawasan Masjid Agung Karawang) pada tahun 1418 Masehi. Dalam semaraknya penyebaran Agama Islam oleh Wali Songo, maka masjid yang dibangun oleh Syeh Quro, kemudian disempurnakan oleh para Ulama dan Umat Islam yang modelnya berbentuk "joglo" beratap 2 limasan, hampir menyerupai Masjid Agung Demak dan Cirebon (Sejarah Masjid Agung Karawang, 2004).
4. Bendungan Parisdo atau Bendungan Walahar
Bendungan Parisdo atau Walahar terletak di Desa Walahar Kec. Ciampel, dengan tujuan menopang deras air sungai Citarum untuk mencegah banjir di wilayah Utara Kabupaten Karawang dan mengairi persawahan Wilayah Karawang dan Wilayah Subang. Bendungan ini mulai difungsikan digunakan sejak tanggal 30 November 1925. Bendungan ini mulai dibangun pada masa penjajahan Portugis yang kemudian dilanjutkan pada masa penjajahan Belanda.
5. Monumen Rawa Gede
Monumen ini didirikan pada tahun 1996 untuk mengenang Pembantaian Masal yg menewaskan + 431 orang warga sipil pada tahun 1947 oleh Belanda . Monumen Rawagede terletak di Desa Balongsari, Kec. Rawamerta, Kab. Karawang, Jawa Barat. Sebelum Persetujuan Renville ditandatangani, tentara Belanda dari Divisi 1 yang juga dikenal sebagai Divisi 7 Desember, terus memburu laskar-laskar Indonesia dan unit pasukan TNI yang masih mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Dalam operasinya di daerah Karawang, pada tanggal 9 Desember 1947 tentara Belanda dipimpin seorang Mayor mencari Kapten Lukas Kustario, komandan kompi Siliwangi kemudian menjadi Komandan Batalyon Tajimalela/Brigade II Divisi Siliwangi yang berkali-kali berhasil menyerang patroli dan pos-pos militer Belanda mengepung desa Rawagede dan menggeledah setiap rumah. Mereka kemudian memaksa seluruh penduduk keluar rumah masing-masing dan mengumpulkan di tempat yang lapang. Penduduk laki-laki diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian mereka ditanya tentang keberadaan para pejuang Republik. Perwira Tentara Belanda kemudian memerintahkan untuk menembak mati semua penduduk laki-laki, termasuk para remaja dan bahkan ada yang baru berusia 11 dan 12 tahun (Permatasari, 2012).
6. Rumah Soekarno – Hatta
Rumah Soekarno – Hatta sebenarnya merupakan rumah dari Djiaw Kie Siong, berada di Kecamatan Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Rumah ini dulunya merupakan tempat Presiden RI Ir. Soekarno dan Wakilnya Bung Hatta disekap oleh pemuda-pemudi Indonesia pada tanggal 16 Agustus 1945 untuk kemudian dipaksa menandatangani naskah Proklamasi yang dideklarasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam rumah yang berukuran sekitar 12 X 12 m ini terdapat dua kamar tidur satu ruang pertemuan, kamar sebelah kiri merupakan tempat tidur Bung Hatta dan sebelah Kanan tempat tidur Ir. Soekarno, yang didalamnya terdapat tempat tidur dari kayu jati yang cukup besar.
7. Tugu Kebulatan Tekad
Tugu Kebulatan Tekad Rengasdengklok dibangun untuk mengenang tentang kebulatan tekad para pemuda, pejuang serta tokoh-tokoh Bangsa Indonesia untuk merebut dan melepaskan Tanah Air dari kungkungan penjajah guna menuju Negara yang merdeka melalui jalur Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945. Tugu ini dibentuk dengan motif tangan kiri yang mengepal tinju diartikan untuk melawan, sedangkan tangan kanan tidak dilukiskan karena memegang senjata atau bambu runcing.
Peranan Pemerintah Kabupaten Karawang
Pelestarian situs-situs bersejarah wajib untuk dilakukan demi kepentingan penggalian nilai-nilai budaya dan juga sebagai cerminan proses kehidupan masyarakat dalam suatu daerah yang terjadi pada masa lalu hingga saat ini untuk dapat kita jadika sebagai pembelajaran kedepannya. Namun seiring dengan usaha pembangunan yang terus berlangsung di Kabupaten Karawang ini, memberikan suatu permasalahan tersendiri dan terkadang berdampak negatif terhadap upaya pelestarian situs-situs bersejarah yang ada yaitu penurunan kualitas dan kuantitas dari situs-situs bersejarah itu sendiri karena kurang terawat dan terjaga.
Potensi dari situs-situs bersejarah ini jika dijadikan sebagia tempat pariwisata sebenarnya cukup menguntungkan bagi Kabupaten Karawang itu sendiri, namun hingga saat ini Kabupaten Karawang masih belum memiliki Perda (Peraturan Perundang-undangan) yang jelas mengenai bidang kepariwisataan, sehingga pengenbangan pada sektor ini masih belum terarah. Hal tersebut juga berdampak pada proses pelestarian situs-situs bersejarah yang ada, yang pada umumnya hak kepemilikan tempat atau tanah bumi bangunan masih milik masyarakat setempat. Adapun usaha yang telah dilakukan oleh pihak pariwisata di Kabupaten Karawang higga saat ini untuk melestarikan situs-situs bersejarah tersebut, adalah melakukan penyuluhan terhadap masyarakat bertapa pentingnya pelestarian situs-situs bersejarah, rekontruksi atau penataan kembali situs-situs bersejarah yang ada, dan untuk siswa-siswi SMA, setiap tahunnya diadakan jalan-jalan sejarah yang dipandu seorang ahli sejarah dari dinas pariwisata ketempat-tempat bersejarah di Kabupaten Karawang.
Peranan Masyarakat Setempat
Proses pelestarian benda cagar budaya situs-situs bersejarah di Kabupaten Karawang bukan hanya kewajiban pemerintahan setempat saja melainkan peran serta masyarakat juga. Dalam kebanyakan kasus yang terjadi di Kabupaten Karawang situs-situs bersejarah yang ada masih berada di tanah milik masyarakat setempat, bahkan rumah Soekarno-Hatta di Kecamatan Rengasdengklok hak kepemilikan bangunannya masih dimiliki oleh keturunan dari Djiaw Kie Siong. Oleh karena itu situs-situs bersejarah tersebut lebih banyak diawasi dan dirawat oleh masyarakat setempat yang notabennya hanya memiliki pengetahuan standar tentang sejarah suatu situs, namun peduli terhadap keberadaan situs-situs bersejarah yang ada.
Dalam upaya pelestarian situs-situs bersejarah tersebut, biasanya masyarakat yang merawat situs mengadakan pemungutan dana sukarela kepada para pengunjung sebagai dana kebersihan. Mereka merawat situs-situs tersebut dengan upaya seadanya seperti melakukan pelarangan terhadap anak remaja yang secara tidak bertanggung jawab berusaha mencoret-coret lokasi situs, pembuatan pembatas antara tempat situs dengan para pengunjung untuk meminalisir terjadinya pengrusakan, sampai pembangunan toilet umum untuk para pengunjung. Proses pelestarian situs-situs bersejarah yang dilakukan tidak sejalan dengan kepudulian remaja kebanyakan saat ini yang lebih tidak peduli dengan sejarah dan keberadaan situs yang ada, sehingga berdampak pada proses perusakan pada situs bersejarah tersebut. Oleh karena itu disini diperlukan penyuluhan bertapa pentingnnya keberadaan situs-situs itu berada kesekolah-sekolah yang ada sehingga para remaja tersebut lebih dapat mengerti sejarah dibangunnya situs tersebut.
Sebagai sebuah bangsa yang kaya akan peninggalan sejarah dan budaya seharusnya dapat lebih menghargai akan pentingnya situs-situs bersejarah yang ada, karena dari situs-situs bersejarah itulah kita dapat mengetahui sejarah perjuangan dan perkembangan bangsa kita dari sejak jaman dahulu hingga sekarang, dan situs-situs bersejarah juga berguna sebagai cerminan identitas suatu daerah, sehingga jika kita tidak dapat merawatnya maka hilanglah identitas kita sebagai sebuah bangsa yang mendiami daerah tersebut. Dalam makalah ini saya berfikir bahwa pemerintah daerah Kabupaten Karawang seharusnya lebih memperhatikan kondisi serta sarana dan fasilitas dari situs-situs bersejarah yang ada, karena dalam kebanyakan kasus, situs-situs bersejarah tersebut lebih banyak diawasi dan dirawat oleh masyarakat setempat yang notabennya hanya memiliki pengetahuan standar tentang sejarah suatu situs bukan pihak pariwisata atau pihak-pihak kesejarahan yang lebih mengerti sejarah situs-situs itu ada dan di bangun. Selain itu pihak pemerintakan Kabuaten Karawang bersama warga sekitar seharusnya dapat berkerja sama dalam proses pelestarian situs-situs bersejarah yang ada, seperti misalnya mengadakan penyuluhan bertapa pentingnya situs tersebut untuk dijaga dari aspek sejarah situs tersebut dibangun. Lalu dapat juga melalui proses perbaikan jalan menuju ke tempat situs-situs bersejarah tersebut.
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sesuai dengan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, adalah sebagai berikut : (1) sejarah terbentuknya Kabupaten Karawang, (2) situs-situs bersejarah yang ada di Kabupaten Karawang, (3) apa saja upaya pemerintah setempat untuk melestarikan situs-situs bersejarah tersebut, (4) bagaimana kepedulian masyarakat akan situs-situs bersejarah di Kabupaten Karawang pada saat ini .
Adapun tujuan yang ingin dicapai berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan adalah sebagai berikut : (1) mendeskripsikan sejarah terbentuknya Kabupaten Karawang, (2) mendeskripsikan situs-situs bersejarah yang ada di Kabupaten Karawang, (3) agar memperoleh gambaran upaya pemerintah setempat untuk melestarikan situs-situs bersejarah tersebut, (4) gambaran kepedulian masyarakat akan situs-situs bersejarah di Kabupaten Karawang pada saat ini.
Sejarah Karawang
Karawang dalam Bahasa Sunda mempunyai arti "penuh dengan lubang” hal itu dikarenakan pada zaman dahulu daerah Karawang memiliki tanah berawa yang menyakibatkan banyak lubang-lubang air di daerah tersebut. Menurut Cornelis de Houtman, orang Belanda yang pertama kali menginjakkan kakinya di pulau Jawa, pada tahun 1596 menuliskan adanya suatu tempat yang bernama Karawang sebagai berikut: “Di tengah jalan antara Pamanukan dan Jayakarta, pada sebuah tanjung terletak Karawang” (Wikipedia, 2010).
Wilayah Karawang ini sudah sejak lama dihuni manusia, dimana dapat kita lihat di daerah ini terdapat peninggalan Situs Batujaya dan Situs Cibuaya yang menunjukkan pemukiman modern awal yang bahkan mendahului masa Kerajaan Tarumanagara. Pada awalnya daerah Karawang ini adalah daerah kekuasaan Kerajaan Sunda, namun setelah Kerajaan Sunda runtuh maka daerah Karawang ini dibagi menjadi dua. Menurut Carita Sajarah Banten, Sunan Gunung Jati membagi Karawang menjadi sebelah timur masuk wilayah Cirebon dan sebelah barat menjadi wilayah Kesultanan Banten (Wikipedia, 2010).
Masyarakat wilayah Karawang pada zaman dahulu awalnya memeluk agama Budha dilihat dari peninggalan candi yang ada di Situs Batujaya dan Situs Cibuaya, sedangkan agama Islam mulai dipeluk masyarakat setempat pada masa Kerajaan Sunda, setelah Syekh Hasanudin bin Yusuf Idofi, atau yang lebih dikenal dengan sebutan "Syekh Quro", menyebarkan agama di daerah Karawang. Karawang mulai mendirikan pusat pemerintahannya tersendiri saat diduduki oleh Kesultanan Mataram, di bawah pimpinan Wiraperbangsa dengan gelar Adipati Kertabumi III dari Sumedang Larang tahun 1632. Semenjak masa ini, sistem pertanian melalui pengairan irigasi mulai dikembangkan di Karawang dan perlahan-lahan daerah ini menjadi daerah pusat penghasil beras utama di Pulau Jawa hingga akhir abad ke-20. Selanjutnya, Karawang menjadi kabupaten dengan bupati pertama Raden Adipati Singaperbangsa bergelar Kertabumi IV yang dilantik 14 September 1633. Tanggal ini dinobatkan menjadi hari jadi Kabupaten Karawang.
Selain dikenal dengan sebutan Lumbung Padi Karawang juga sering disebut sebagai Kota Pangkal Perjuangan dimana Kecamatan Rengasdengklok adalah daerah pertama dari Republik Indonesia yang gagah berani mengibarkan bendera Merah Putih sebelum Proklamasi kemerdekaan Indonesia di gaungkan. Daerah Rengasdengklok juga dijadikan tempat disembunyikannya Soekarno dan Hatta oleh para pemuda Indonesia untuk secepatnya merumuskan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 16 Agustus 1945.
Situs-situs Bersejarah di Kota Karawang
1. Candi Jiwa dan Candi Blandongan di Situs Batujaya
Pada tahun 1984 Situs Batujaya ini pertama kali diteliti oleh tim arkeologi dari Universitas Indonesia berdasarkan adanya laporan dari masyarakat sekitar tentang penemuan benda-benda peninggalan purbakala disekitar gundukan-gundungan tanah yang berda ditengah-tengah sawah milik penduduk. Kemudian, penelitian yang sebenarnya baru dilakukan pada tahun 1992 hingga tahun 2006, dan berhasil menemukan 31 tapak situs sisa-sisa bangunan (Takaria, 2007).
Sampai pada tahun 2000 dari hasil penelitian yang dilakukan baru ada 11 buah candi yang berhasil diteliti oleh para arkeolog, meskipun masih memiliki banyak fakta yang belum terungkap seperti kronologi, sifat keagamaan, bentuk dan pola percandian, menurut dugaan candi-candi tersebut merupakan bangunan candi tertua didaerah Jawa, yang diperkirakan dibangun pada masa Kerajaan Tarumanegara pada Abad ke 15 Masehi. Berdasarkan pada hasil penemuan candi-candi tersebut, yang menarik disini adalah setiap bangunan candi yang ada di Situs Batujaya semuanya menghadap ke arah yang sama, yaitu 50 derajat dari arah utara (Takaria, 2007).
2. Situs Cibuaya
Dari seluruh bangunan candi yang ditemukan di Situs Cibuaya yang paling menarik adalah bangunan candi di Lemah Duhur Lanang. Bangunan yang dibuat dari bata ini berdenah hampir bujursangkar dengan ukuran 9 × 9,6 meter dan tinggi dua meter, menghadap ke arah barat laut dengan tangga berukuran lebar 2,2 meter. Bagian fondasinya dibuat dari pecahan bata yang bercampur dengan kerikil dan batu kali. Bagian puncak runtuhan bangunan Lemah Duhur Lanang terdapat sebuah lingga yang masih berdiri in-situ, lingga ini berukuran tinggi 111 cm dan bergaris tengah 40 cm. Bentuk lingganya sendiri bukan merupakan bentuk lingga yang sempurna (lingga semu) karena tidak memiliki bagian yang berdenah segi delapan (wisnubhaga). Bagian yang ada hanya yang berdenah persegi ("brahmabhaga") dan bundar ("rudrabhaga"). Dengan ditemukannya lingga dalam konteksnya dengan bangunan suci dan arca Wisnu yang ditemukan di dekatnya, dapat disimpulkan bahwa bangunan Lemah Duhur Lanang adalah bangunan suci untuk pemeluk agama Hindu (Karim, 2010).
3. Masjid Agung Karawang dan Makam Syekh Quro
Syekh Hasanudin atau lebih dikenal dengan sebutan Syekh Quro merupakan penyebaran agama Islam ke Nusantara dan berlabuh pertama kali di pelabuhan Cirebon dibawah pengawasan Ki Gedeng Tapa. Namun usahanya untuk terus melakukan dakwah di cegah oleh kepemimpinan Raja Padjajaran yang kala itu di pimpin oleh Prabu Angga Larang, dan untuk menghindari pertumpahan darah, Syekh Quro memutuskan untuk meninggalkan pulau Jawa dengan bertolak ke Malaka. Oleh Ki Gedeng Tapa, Syekh Quro dititipkan putrinya yang baru berusia 12 tahun untuk menimba Ilmu Agama Islam, putri Ki Gedeng Tapa ini bernama Nyi Subang Larang. Setelah ia berhasil mengislamkan daerah Malaka, Syekh Quro bersama muridnya, Nyi Subang Larang memutuskan kembali ke daerah Jawa melalui ujung Karawang, menyusuri Sungai Citarum dan menambatkan perahunya di Pelabuhan Karawang yaitu Bunut Kertayasa (Saat ini dikenal sebagai Kampung Bunut). Syekh Quro kemudian meminta izin kepada penguasa setempat untuk mendirikan bangunan sebagai tempat tinggal sekaligus tempat pendidikan (mengaji), tempat tersebut dikemudian hari dikenal sebagai Pesantren Quro (Saat Ini dikenal sebagai kawasan Masjid Agung Karawang) pada tahun 1418 Masehi. Dalam semaraknya penyebaran Agama Islam oleh Wali Songo, maka masjid yang dibangun oleh Syeh Quro, kemudian disempurnakan oleh para Ulama dan Umat Islam yang modelnya berbentuk "joglo" beratap 2 limasan, hampir menyerupai Masjid Agung Demak dan Cirebon (Sejarah Masjid Agung Karawang, 2004).
4. Bendungan Parisdo atau Bendungan Walahar
Bendungan Parisdo atau Walahar terletak di Desa Walahar Kec. Ciampel, dengan tujuan menopang deras air sungai Citarum untuk mencegah banjir di wilayah Utara Kabupaten Karawang dan mengairi persawahan Wilayah Karawang dan Wilayah Subang. Bendungan ini mulai difungsikan digunakan sejak tanggal 30 November 1925. Bendungan ini mulai dibangun pada masa penjajahan Portugis yang kemudian dilanjutkan pada masa penjajahan Belanda.
5. Monumen Rawa Gede
Monumen ini didirikan pada tahun 1996 untuk mengenang Pembantaian Masal yg menewaskan + 431 orang warga sipil pada tahun 1947 oleh Belanda . Monumen Rawagede terletak di Desa Balongsari, Kec. Rawamerta, Kab. Karawang, Jawa Barat. Sebelum Persetujuan Renville ditandatangani, tentara Belanda dari Divisi 1 yang juga dikenal sebagai Divisi 7 Desember, terus memburu laskar-laskar Indonesia dan unit pasukan TNI yang masih mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Dalam operasinya di daerah Karawang, pada tanggal 9 Desember 1947 tentara Belanda dipimpin seorang Mayor mencari Kapten Lukas Kustario, komandan kompi Siliwangi kemudian menjadi Komandan Batalyon Tajimalela/Brigade II Divisi Siliwangi yang berkali-kali berhasil menyerang patroli dan pos-pos militer Belanda mengepung desa Rawagede dan menggeledah setiap rumah. Mereka kemudian memaksa seluruh penduduk keluar rumah masing-masing dan mengumpulkan di tempat yang lapang. Penduduk laki-laki diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian mereka ditanya tentang keberadaan para pejuang Republik. Perwira Tentara Belanda kemudian memerintahkan untuk menembak mati semua penduduk laki-laki, termasuk para remaja dan bahkan ada yang baru berusia 11 dan 12 tahun (Permatasari, 2012).
6. Rumah Soekarno – Hatta
Rumah Soekarno – Hatta sebenarnya merupakan rumah dari Djiaw Kie Siong, berada di Kecamatan Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Rumah ini dulunya merupakan tempat Presiden RI Ir. Soekarno dan Wakilnya Bung Hatta disekap oleh pemuda-pemudi Indonesia pada tanggal 16 Agustus 1945 untuk kemudian dipaksa menandatangani naskah Proklamasi yang dideklarasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam rumah yang berukuran sekitar 12 X 12 m ini terdapat dua kamar tidur satu ruang pertemuan, kamar sebelah kiri merupakan tempat tidur Bung Hatta dan sebelah Kanan tempat tidur Ir. Soekarno, yang didalamnya terdapat tempat tidur dari kayu jati yang cukup besar.
7. Tugu Kebulatan Tekad
Tugu Kebulatan Tekad Rengasdengklok dibangun untuk mengenang tentang kebulatan tekad para pemuda, pejuang serta tokoh-tokoh Bangsa Indonesia untuk merebut dan melepaskan Tanah Air dari kungkungan penjajah guna menuju Negara yang merdeka melalui jalur Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945. Tugu ini dibentuk dengan motif tangan kiri yang mengepal tinju diartikan untuk melawan, sedangkan tangan kanan tidak dilukiskan karena memegang senjata atau bambu runcing.
Peranan Pemerintah Kabupaten Karawang
Pelestarian situs-situs bersejarah wajib untuk dilakukan demi kepentingan penggalian nilai-nilai budaya dan juga sebagai cerminan proses kehidupan masyarakat dalam suatu daerah yang terjadi pada masa lalu hingga saat ini untuk dapat kita jadika sebagai pembelajaran kedepannya. Namun seiring dengan usaha pembangunan yang terus berlangsung di Kabupaten Karawang ini, memberikan suatu permasalahan tersendiri dan terkadang berdampak negatif terhadap upaya pelestarian situs-situs bersejarah yang ada yaitu penurunan kualitas dan kuantitas dari situs-situs bersejarah itu sendiri karena kurang terawat dan terjaga.
Potensi dari situs-situs bersejarah ini jika dijadikan sebagia tempat pariwisata sebenarnya cukup menguntungkan bagi Kabupaten Karawang itu sendiri, namun hingga saat ini Kabupaten Karawang masih belum memiliki Perda (Peraturan Perundang-undangan) yang jelas mengenai bidang kepariwisataan, sehingga pengenbangan pada sektor ini masih belum terarah. Hal tersebut juga berdampak pada proses pelestarian situs-situs bersejarah yang ada, yang pada umumnya hak kepemilikan tempat atau tanah bumi bangunan masih milik masyarakat setempat. Adapun usaha yang telah dilakukan oleh pihak pariwisata di Kabupaten Karawang higga saat ini untuk melestarikan situs-situs bersejarah tersebut, adalah melakukan penyuluhan terhadap masyarakat bertapa pentingnya pelestarian situs-situs bersejarah, rekontruksi atau penataan kembali situs-situs bersejarah yang ada, dan untuk siswa-siswi SMA, setiap tahunnya diadakan jalan-jalan sejarah yang dipandu seorang ahli sejarah dari dinas pariwisata ketempat-tempat bersejarah di Kabupaten Karawang.
Peranan Masyarakat Setempat
Proses pelestarian benda cagar budaya situs-situs bersejarah di Kabupaten Karawang bukan hanya kewajiban pemerintahan setempat saja melainkan peran serta masyarakat juga. Dalam kebanyakan kasus yang terjadi di Kabupaten Karawang situs-situs bersejarah yang ada masih berada di tanah milik masyarakat setempat, bahkan rumah Soekarno-Hatta di Kecamatan Rengasdengklok hak kepemilikan bangunannya masih dimiliki oleh keturunan dari Djiaw Kie Siong. Oleh karena itu situs-situs bersejarah tersebut lebih banyak diawasi dan dirawat oleh masyarakat setempat yang notabennya hanya memiliki pengetahuan standar tentang sejarah suatu situs, namun peduli terhadap keberadaan situs-situs bersejarah yang ada.
Dalam upaya pelestarian situs-situs bersejarah tersebut, biasanya masyarakat yang merawat situs mengadakan pemungutan dana sukarela kepada para pengunjung sebagai dana kebersihan. Mereka merawat situs-situs tersebut dengan upaya seadanya seperti melakukan pelarangan terhadap anak remaja yang secara tidak bertanggung jawab berusaha mencoret-coret lokasi situs, pembuatan pembatas antara tempat situs dengan para pengunjung untuk meminalisir terjadinya pengrusakan, sampai pembangunan toilet umum untuk para pengunjung. Proses pelestarian situs-situs bersejarah yang dilakukan tidak sejalan dengan kepudulian remaja kebanyakan saat ini yang lebih tidak peduli dengan sejarah dan keberadaan situs yang ada, sehingga berdampak pada proses perusakan pada situs bersejarah tersebut. Oleh karena itu disini diperlukan penyuluhan bertapa pentingnnya keberadaan situs-situs itu berada kesekolah-sekolah yang ada sehingga para remaja tersebut lebih dapat mengerti sejarah dibangunnya situs tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Karim, S. (2010, Mei 1).
Situs Cibuaya. Retrieved April 22, 2014, from
tentangkarawang.blogspot.coml:
http://tentangkarawang.blogspot.com/2010/05/situs-cibuaya.html
Permatasari, L. (2012, Maret 19). Sejarah Monumen
Rawa Gede. Retrieved April 22, 2014, from permatasarilisa.blogspot.com:
http://permatasarilisa.blogspot.com/2012/03/sejarah-monumen-rawa-gede.html
Sejarah Masjid Agung Karawang. (2004, Februari 27).
Retrieved April 22, 2014, from masjidagungkarawang.tripod.com:
http://masjidagungkarawang.tripod.com/index.html
Takaria, L. F. (2007, April 11). Wisata sejarah di
Candi Jiwa Batu Jaya-Karawang. Retrieved April 22, 2014, from
berpetualangdiindonesia.blogspot.com: http://berpetualangdiindonesia.blogspot.com/2011/04/wisata-sejarah-di-candi-jiwa-batu-jaya.html
Wikipedia. (2010). Kabuapten Karawang.
Retrieved April 22, 2014, from www.id.wikipedia.org:
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Karawang
karawang its ok
BalasHapus